Selamat Datang di Portal Agus Masdika

Analisis Cerpen "Peradilan Rakyat" Karya Putu Wijaya

Analisis Cerpen Peradilan Rakyat Karya Putu Wijaya

                                                       Peradilan rakyat
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior  yang sangat dihormati oleh para penegak   hukum. 
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu,
"aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda? Pengacara muda tertegun.
 "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku”
 "Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Andalakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga, adalah keadilan itu sendiri". Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan." Kata pengacara tua itu.
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"Pengacara tua itu tertawa. "Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air,bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang."Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik.  Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya.  Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin dan beku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu akumelakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang. Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini." Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
 "Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
"Lalu kamu terima?"potong pengacara tua itu tiba-tiba.Pengacara muda itu terkejut.
Ia menatap pengacara tua itu dengan heran. "Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata:"Sebab aku kenal siapakamu."
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang."Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk  membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehinggatercapai keputusan yang seadila-dilnya. "Pengacara tua mengangguk anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
 "Antara lain.
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku. "Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu. "Jadi langkahku sudah benar?"Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"  
"Bukan juga Karena uang
"Bukan!".
"Lalu   karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum. "Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"Orang tua itu menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akanberhasil keluar sebagai pemenang."
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara muda itu tertawa kecil."Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
Betul?"
"Betul!"Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut.
Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi."Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut,     bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
“Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman.Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak.” Pengacara tua itu terkejut
"Sama  sekali   tak dibicarakan berapaa kan membayarmu?
"Tidak."
 "Wah! Itu tidak profesional!"Pengacara muda itu tertawa
."Aku tak pernah mencari uangdari kesusahan orang!"  
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"Pengacara muda ituterdiam.
" Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!" "Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?" Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya”
“Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut,
Bukan  Karena kamu  disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
 "Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atauperlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi  orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara  muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya.
“Kalau tidak, Kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi.
Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa.
Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terusmengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih,
"Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" **



A.           Menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen.
         I.          Tema
Tema atau pokok persoalan cerpen “Peradilan Rakyat” adalah keadilan di masyarakat. 

      II.          Alur/plot
Didalam cerita  cerpen “peradilan rakyat”  tersebut adalah  yang menjadi alur cerita tersebut adalah alur maju yaitu Pengarang menyusun peristiwa-peristiwa secara berurutan mulai dari perkenalan sampai penyelesaian.
Antara lain:
·         mulai melukiskan keadaan (situation);
 Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat  dihormati oleh para penegak  hukum. Kedatangan pengacara muda itu untuk berdialog masalah hukum di negara yang dirasakan lemah oleh mereka.
·         peristiwa-peristiwa mulai bergerak (generating circumtans);
Belum lama ini negara menugaskan aku (pengacara muda) untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati
·         keadaan mulai memuncak (rising action); 
Seorang penjahat yang mendapat yang mendapat pengacara yang hebat. Penjahat itu, juga meminta kepada pengacara muda untuk membelanya. Karena pengacara itu profesional maka dia menerimanya dengan membela penjahat dengan membela penjahat dipersidangan,penjaht yang seharusnya menjadi musuh negara dan rakyat.
·         mencapai titik puncak (klimaks);
Peradilan terhadap penjahat itu dimulai . gambaran dari pengacara tua itu benar-benar terjadi sidang perkara yang dilakukan oleh pengacara dan penjahat itu dimenangkan keduanya. Penjahat itu bebas dengan tertawa  lepas. Penjahat itu menerima kebebasnya dengan cepat keluar negeri dan sulit untuk menjamahnya kembali.
·         pemecahan masalah/ penyelesaian (denouement);
Mengetahui hal tersebut rakyat menjadi beramarah. Mereka turun kejalan dengan melakukan demontrasi besar-besaran dimana-mana, gedung-gedung dipengadilan dibakar, dan pengacara muda itu diculik dan dibunuh.

   III.            Latar
a.    Latar Tempat
Unsur tempat yang dipergunakan dalam cerpen ”Peradilan Rakyat” karya Putu Wijya ini terjadi dirumah pengacara senior (ayah). Ini ditujukan pada kutipan berikut: “Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.”
b.    Latar Waktu
Dalam cerpen “Peradilan Rakyat” karya Putu Wijaya ini latar waktunya pada malam hari. Ini ditunjukan pada kutipan berikut ini: "Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
c.       Latar Sosial
Latar sosial yang ada dalam cerpen ini dapat ditunjukan melalui kutipan berikut: Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup.
Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Latar Susana yang tegambar dalam cerpen diatas adalah “menegangkan” dan Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
Latar suasana yang ditimbulkan pada penggalan cerpen diatas adalah “kesedihan pengacara tua karena kematian anaknya.”


   IV.            Tokoh dan Penokohan
·           Pengacara Muda (anak): merupakan seorang pemuda yang kritis, tekun, bersemangat cerdas dan profesional terhadap pekerjaannya sebagi seorang pengacara. Hal tersebut berdasarkan kutipan dibawah ini: “Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri” Dari kutipan diatas menunjukkan bahwa pengacara muda tersebut cerdas, dan berpikir kritis. Ia mencermati keadaan dan situasi, seorang pengacara muda yang bersikap adil dan profesional pada pekerjaannya sebagai pengacara.
·           Pengacara Senior (ayah):  Memiliki sikap yang bijaksana, penyayang, rendah hati. Hal tersebut berdasarkan kutipan: “Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia.” “Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan”.
Dari kutipan diatas, karakter tokoh ayah yang menyayangi dan merindukan putranya. Pengacara senior sudah tampak lemah dan tua.
·       Sekretaris : perhatian, baik, cantik jelita. Hal tersebut berdasarkan kutipan  “Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda. “Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam.”

      V.            Sudut Padang
Sudut pandang yang terdapat dalam cerpen Peradilan Rakyat adalah Sudut pandang orang ketiga yaitu sudut pandang  yang biasanya pengarang menggunakan tokoh “ia”, atau “dia”. Atau bisa juga dengan menyebut nama tokohnya.

   VI.            Gaya Bahasa
·         Gaya Bahasa Perbandingan dan Perumpamaan.
Contohnya: penjahat itu licin seperti belut; rakus seperti monyet;seperti kucing dan anjing; seperti singa yang lapar; bagai air dengan minyak.
Pada cerpen gaya bahasa perumpamaan dapat dilihat dari beberapa kutipan di bawah ini:
Ø Mereka menyebutku Singa Lapar.
Ø Jangan membunuh diri dengan deskripsi-deskripsi yang menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam.
Ø Keadilan tak boleh menjadi sebuah taeter, tetapi mutlak hanya pencari keadilan yang kalau perlu dingin dan beku.

·        Metafora
Ø  Dengan gemilang dan mudah ia mempencundangi negara dipengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu.

·        Depersonikfikasi
Ø  Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa.

·        Personifikasi
Ø  Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak diseluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

·         Hiperbola
Ø  Tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang, dicabik
cabik korupsi ini.
Ø  Namun yang lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan menginjak-injak
keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya.
Ø  Jangan membunuh diri dengan deskripsi-deskripsi yang menjebak kamu ke dalam
doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam.
Ø  Tapi aku tolak mentah-mentah.
Ø  Keadilan tak boleh menjadi sebuah taeter, tetapi mutlak hanya pencari keadilan yang
kalau perlu dingin dan beku.
Ø  Yang tua memicingkan mata dan mulai menembak lagi.
Ø Juga bukan ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi
kemanusian di mancanegara yang benci negaramu, bukan?
Ø  Entah luluh oleh senyum dibibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu.
Ø Membebaskan bajingan yang ditakuti oleh seluruh rakyat dinegeri ini untuk terbang lepas
kembali seperti burung diudara.
Ø Ia merayakan kemenangan dengan pesta kembang semalam suntuk, lalu meloncat ke
mancanegara, tak mungkin dijamah lagi.
Ø  Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Ø  Penjahat besar yang akan terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat.

·         Gaya bahasa Sinisme
Tidak seperti pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Maksudnya, saat ini banyak pengacara yang bekerja dengan tidak profesional. Menjual kejujuran demi kepentingan pribadi atau kelompok.

VII.           Amanat
1.      Dalam memilih pilihan hidup itu, kita seharusnya sebagai manusia menggunakan pikiran serta perasaan, sehingga pilihan yang kita ambil tersebut tidak merugikan diri sendiri.
2.      Banyaknya mafia-mafia di negeri ini merupakan bukti kebobrokan moral di Negara ini yang mana hokum bisa diperjual belikan.
3.      Kita sebagai manusia yang mempunyai akhlak hendaknya menjalani sebuah pekerjaan yang menjadi tanggung jaawab sesuai dengan norma-norma yang berlaku secara professional, sehingga hal-hal yang merugikan orang lain apalagi menyengsarakan orang lain dapat dihindari. Bukan tidak mungkin bila rakyat telah marah, maka akan lupa diri dan bisa melakukan hal-hal diluar batas kewajaran.

B.       Menganalisis unsur ekstrinsik cerpen.
unsur-unsur eksitrinsik yang membangun cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya ini yaitu: 
a.       Judul        : Peradilan Rakyat.
b.      Penulis        : Putu Wijaya
Biografi singkat penulis
Putu Wijaya memiliki nama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944. Putu, dikenal sebagai seorang budayawan sastra yang telah menelurkan ribuan karya yang terdiri dari cerpen, novel serta naskah drama dan film. Putu sendiri adalah bungsu dari lima bersaudara seayah dan tiga bersaudara seibu. Ayah Putu, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawai yang keras dalam mendidik anak-anaknya. 
Putu diharapkan bisa menjadi dokter oleh kedua orang tuannya itu, telah menulis 30 novel, 40 naskah drama, ribuan cerpen, ratusan esei, artikel lepas dan kritik drama. Bahkan Putu juga telah menulis skenario film dan sinetron. Selain itu, Putu juga seorang dramawan dengan memimpin Teater Mandiri sejak 1971. Bersama teather itu, dirinya telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Bahkan puluhan penghargaan diraih atas karya sastra tersebut. Karya skenarionya pun telah dua kali meraih piala Citra Festival Film Indonesia (FFI), untuk PERAWAN DESA (1980) dan KEMBANG KERTAS (1985). Sementara karya bukunya yang banyak diperbincangkan di antaranya, Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali, dan lain-lain.

C.     Menganalisis nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen.
·         Nilai sosial
Nilai sosial yang ada dalam cerpen Peradilan Rakyat Putu Wijaya ini penulis dapat tunjukan berdasarkan kutipan berikut ini: “…Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Dari kutipan diatas, kita harus sadar bahwa kita harus selalu dapat membantu orang lain selagi kitamampu karena kita harus sadar bahwa pada hakikatnya kita adalah mahluk sosial.

·         Nilai moral 
Pesan moral yang ingin disampaikan Putu Wijaya dalam Cerpen Peradilan Rakyat ini adalah sebagai seorang penegak hukum seharusnya kita memperhatikan kepentingan orang banyak, jangan kita mengorbankan kepentingan orang banyak demi mempertahannkan rasa professional dalam diri kita.

·         Nilai ekonomi
Nilai ekonomi yang ada dalam cerpen Peradilan Rakyat Putu Wijaya ini penulis dapat tunjukan berdasarkan kutipan berikut ini: ”…Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?" "Tidak! Sama sekali tidak!" "Bukan juga karena uang?!" "Bukan!" "Lalu karena apa?" Pengacara muda itu tersenyum. "Karena aku akan membelanya." "Supaya dia menang?"
Dari kutipan di atas, maka dapat kita lihat bahwa si Pengaca muda ini membela klayennya bukan karena uang tetapi dia hanya ingin agar klayennya menang. Hal ini menunjukan bahwa ekonomi tokoh pengacara muda ini cukup mapan. Dalam menjalankan profesinya sebagai pengacara dia tidak perlu disogok, dia hanya berpegang pada rasa professional yang ada dalam dirinya.

·         Nilai pendidikan
Nilai pendidikan yang ada di dalam cerpen Peradilan Rakyat Putu Wijaya ini penulis dapat tunjukan berdasarkan kutipan berikut ini: “…Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini…."
Selain kutipan di atas, nilai pendidikan yang ada dalam cerpen Peradilan Rakyat Putu Wijaya ini penulis juga dapat tunjukan berdasarkan kutipan berikut ini:
"…Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting….”
Dari kedua kutipan diatas maka, untuk menegakan sebuah keadilan maka kita harus menegakannya dengan keadilan yang bersih tanpa berdasarkan kepentingan tertentu dan berusaha untuk menegakan keadilan berdasarkan kebenaran. 


Share this post :

Post a Comment

Agusmasdika©. Powered by Blogger.

Statistik Blog

Followers

About Me

My photo
Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Indonesia
Sampai detik ini aku bukan diri ku yang dulu lagi.
 
Support : AgusMasdikaOTM | DownloadRPP | PbsiFkipUMRAH
Copyright © 2015. Sanggar Bahasa dan Sastra Indonesia - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Modified by AgusMasdikaOTM
Proudly powered by Blogger